Dalam perdebatan sengit mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan presiden Indonesia, Soeharto, berbagai suara dari kelompok masyarakat dan koalisi sipil menolak keras langkah ini. Mereka menilai bahwa di balik prestasi pembangunan yang diakui selama masa pemerintahan Orde Baru, terdapat sisi gelap berupa pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Sebagai bagian dari upaya memperjuangkan keadilan bagi para korban, koalisi ini memaparkan sembilan dosa besar dalam bidang HAM yang terjadi di masa kekuasaan Soeharto.
Sejarah Kelam Pelanggaran HAM Orde Baru
Soeharto, yang memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dianggap banyak orang sebagai sosok pemimpin yang otoriter. Dalam periode ini, sejumlah kasus pelanggaran HAM berat terjadi, termasuk peristiwa pembantaian 1965-1966 yang mengorbankan ratusan ribu orang diduga komunis. Episode ini hingga kini masih menyisakan luka mendalam bagi banyak keluarga yang kehilangan anggota tercintanya di masa lalu.
Tragedi Tanjung Priok dan Talangsari
Memasuki dekade berikutnya, tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984 dan Talangsari pada tahun 1989 menjadi dua peristiwa pelik yang mengoyak perasaan publik. Kedua peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana penanganan militer terhadap perbedaan pendapat sering kali berakhir dengan kekerasan yang mematikan. Apabila kita larut dalam penderitaan korban, jelas bahwa peristiwa ini membuktikan masih lemahnya penghargaan terhadap hak asasi manusia pada masa itu.
Pelanggaran Hak-hak Sipil dan Politik
Selain kekerasan fisik, salah satu aspek yang sering terlupakan ialah pelanggaran hak-hak sipil dan politik di bawah rezim Orde Baru. Pembatasan kebebasan pers, pembungkaman partai oposisi, dan kontrol ketat terhadap organisasi masyarakat menjadi instrumen yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Ketidaksadaran akan hak-hak dasar dalam kehidupan demokratis seperti ini sering kali terabaikan dalam setiap pembahasan mengenai Soeharto yang lebih berfokus pada pencapaian ekonomi.
Analisis: Membedah Implikasi Pemberian Gelar Pahlawan
Dalam wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, penting untuk melihat dari perspektif yang lebih luas. Arti gelar tersebut bukan hanya sekadar pengakuan bagi individu, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai bangsa yang ingin terus diwariskan kepada generasi mendatang. Memiliki gelar ini mungkin dianggap melegitimasi tindakan masa lalu yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Kritik atas Pengambilalihan Sejarah
Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tanpa mempertimbangkan masa lalu kelamnya dapat dilihat sebagai upaya pengambilalihan narasi sejarah. Kritikus menyatakan, jika kita tidak berhati-hati, ini dapat mengaburkan batas antara memperingati jasa dan menutup mata terhadap kejahatan. Kewajiban moral kita adalah memastikan bahwa sejarah yang diwariskan adalah pendidikan, bukan pemujaan yang membutakan.
Menyadari implikasi ini, negara harus berperan aktif dengan menyeimbangkan antara penghargaan atas kontribusi positif dan pengakuan atas pelanggaran yang terjadi. Memajukan toleransi tanpa melupakan kejahatan masa lalu adalah langkah yang relevan untuk kemajuan bangsa di masa mendatang.
Pada akhirnya, keputusan memberikan gelar pahlawan sejatinya tidak hanya mengangkat individu tersebut tetapi juga menguji prinsip dasar negara terhadap pengakuan akan kebaikan dan keburukan sejarah. Kebijaksanaan dalam menimbang semua aspek ini akan menentukan bagaimana masyarakat menghargai perjalanan sejarah bangsa dan pandangan kita terhadap kepahlawanan yang sejati.
